Mengadili Terdakwa Tak Berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia
Oleh: Ricky Rizaldy
Kesusastraan Indonesia modern
selalu diwarnai oleh perdebatan/polemik yang menyangkut berbagai hal.
Ringkasan
ini bermula dari salah satu perdebatan tersebut, yaitu Pengadilan Puisi
Indonesia Mutakhir. “Pengadilan” yang diselenggarakan Yayasan Arena ini
diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti
oleh sejumlah pengarang Indonesia.
Gagasan
asli Pengadilan Puisi datang dari Darmanto pada tahun 1970 dan dimaksudkan
sebagai badutan, menurut Sapardi
Djoko Damono. Pada tahun 1972, Darmanto mengumumkan gagasan itu – dalam karangannya
yang berjudul “Tentang Pengadilan Puisi” – di sebuah harian Jakarta. Dan pada
tahun 1974-lah gagasan itu bisa diwujudkan di Bandung.
Pada
tulisan Darmanto Jt maupun pada Tuntutan yang di bacakan Slamet Kirnanto selaku
“Jaksa” dalam Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir, secara tersirat maupun
tersurat memang terasa di dalamnya ketidakpuasan
terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat itu. Ketidakpuasan itu antara lain
menyangkut: (1) Sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, (2) Kritikus sastra
Indonesia, (3) Media yang memuat karya sastra Indonesia, (4) Beberapa penyair
Indonesia yang dianggap “mapan”.
Itulah
sebabnya mereka yang disebut-sebut dalam Pengadilan Puisi Bandung sengaja
diundang untuk berbicara dalam Jawaban Atas Pengadilan Puisi yang
diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta,
21 September 1974; sebuah acara yang dapat dianggap sebagai “kelanjutan”
Pengadilan Puisi di Bandung. Dalam acara Jawaban Atas Pengadilan Puisi, H.B.
Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Muhammad, dan Sapardi Djoko Damono “menjawab”
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Slamet Kirnanto kepada mereka.
Dalam
acara ini, Slamet Kirnanto – yang bertindak sebagai “Jaksa” – membacakan “tuntutan”
– nya yang berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini
Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
Dakwaan
merupakan sejumlah kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap kritikus
M.S. Hutagalung dan H.B. Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh
M.S. Hutagalung serta penjagoan W.S. Rendra oleh H.B. Jassin. Kejengkelan itu
pun ditujukan juga terhadap tidak dibicarakannya Sutardji Calzoum Bacri dan
Darmanto Jt yang membawa “gejala pembaharuan” oleh M.S. Hutagalung dan H.B.
Jassin, dan juga terhadap gejala “saling memuji” di dalam tiga serangkai
Goenawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M., serta terhadap Horison yang “tidak mampu lagi
menjalankan peranan penuh tanggung jawab”, “terjerumus jadi majalah keluarga”,
dan “tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti Abdul Hadi”
Tuntutan
berbunyilah begini: pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti
perkembangan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, harus “dipensiunkan”
dari peranan yang pernah mereka miliki. Kedua, para editor majalah sastra,
khususnya Horison (Sapardi Djoko
Damono) dicuti-besarkan. Ketiga, para penyair mepan seperti Subagio, Rendra,
Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan epigonnya harus dikenakan hokum
pembuangan, kemudian inkarnasinya dibuang pula ke pulau paling terpencil. Yang
terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan
yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku, dan dilarang untuk
dibaca peminat sastra serta mesyarakat umum sebab kita akan mengisruhkan
perkembangan sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Ini semua
didasarkan atas “Kitab Undang-Undang Hukum Puisi”.
Tembakan-tembakan
kejengkelan jaksa dan keempat tuntutannya pada situasi Pengadilan Puisi itu
cukup terdengar konyol dan dengan demikian juga kejenakaan ala kadarnya.
Sebuah
kursi kosong terletak di tengah ruangan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang
tak berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia. Tapi semua orang lupa dan saksi-saksi
pun bergantian saja menduduki kursi terdakwa itu, sesudah menyeretnya ke sana
kemari. Barangkali ini mengandung perlambangan juga pada pengadilan itu: orang
jadi lupa pada isi puisi itu sendiri, tapi lebih mencereweti serta
bernyinyir-nyinyir tentang orang-orangnya (penyair, kritikus, diri sendiri
secara langsung atau tak langsung) dan mediumnya.
Hakim
Darmanto menolak semua tuntutan Jaksa. Diputuskan pula bahwa Puisi Mutakhir
Indonesia memang ada, Cuma belum berkembang. Bunyi keputusan:
Pertama,
para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan
serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus
penaikan mutu dalam Skolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
Kedua,
para redaktur Horison tetap diizinkan
terus memegang jabatan mereka , selama mereke tidak merasa malu. Bila
dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
Ketiga,
para penyair mapan, established, masih
diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan
inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti
Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
Keempat,
majalah sastra Horison tidak perlu
dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbitnya, hanya di belakang nama lama
harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat
luas tetap tetap mendapatkan izin membaca sastra dan membaca puisi
Demikian
keputusan majelis hakim.
Jaksa
Slamet Kirnanto tidak merasa puas terhadap keputusan ini dan menyatakan naik
banding ke pengadilan yang lebih tinggi. “Boleh-boleh saja,” kata hakim. “Nanti
kapan-kapan di kota lain.” Pembela merasa heran dengan prestasinya dan minta
supaya kopinya ditambah panitera. Permintaan dikabulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Eneste, Pamusuk. 1986. Pengadilan Puisi. Jakarta: PT GUNUNG AGUNG
Comments
Post a Comment