Sejarah Kota Samarinda

Oleh: Ricky Rizaldy

La Mohang Daeng Mangkona, mungkin sekarang sebagian besar masyarakat khususnya anak muda Kota Samarinda sangat asing dengan nama itu. Bagaimana tidak, sekarang banyak sekali masyarakat yang tidak mengenal sejarah dan asal-usul kotanya sendiri. Itulah yang menjadi masalah besar saat ini ketika masyarakat tidak lagi mengenal sejarah serta asal-usul tanah yang mereka pijak sekarang. Sejarah sebagai sasaran studi memiliki pengertian sebagai kejadian di waktu lampau dan sejarah sebagaimana ia diceritakan. (Walsh 1956: 14). Sejarah nasional yang mencakup zaman dari seluruh daerah haruslah diterima tak lebih daripada nama berdasarkan konsensus saja. Ia ditentukan bukan oleh keharusan logis atau sasaran studi, tetapi oleh tuntutan ideologis.



● Lokasi makam La Mohang Daeng Mangkona

Sabtu, 08 April 2017 saya beserta teman-taman saya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman mengadakan kunjungan ke makam La Mohang Daeng Mangkona yang didampingi oleh Dosen kami Dahri Dahlan, S. S., M. Hum. Makam Daeng Mangkona ini merupakan makam yang diyakini sebagai makam pendiri Kota Samarinda.
Setibanya kami di makam itu kami disambut oleh Bapak Abdillah yang merupakan juru kunci makam tersebut. Di sana berdiri sebuah pondopo yang di dalamnya terdapat 4 makam salah satunya yaitu makam Daeng Mangkona, di samping makam beliau merupakan makam istri beliau dan kedua makam lainnya merupakan makan saudara beliau. Diantara semua makam yang ada di sana hanya makam Daeng Mangkona yang memiliki identitas sedangkan ketiga makam lainnya sampai sekarang masih belum diketahui identitasnya. Selain keempat makam tersebut di belakang pondopo terdapat tanah yang luas dimana kita bisa menemukan puluhan batu nisan, puluhan makam tersebut diyakini merupakan makam pengikut La Mohang Daeng Mangkona.

● Makam Daeng Mangkona beserta istri dan saudara beliau


● Makan para pengikut Daeng Mangkona

Daeng Mangkona dimakamkan secara Islam karena pada batu nisan beliau tertulis tulisan arab yang menandakan bahwa beliau wafat secara Islam dan pada tulisan arab tersebutlah tertulisnya nama beliau. Makam Daeng Mangkona pertama kali ditemukan oleh Mohammad Toha, beliau merupakan juru kunci pertama makam sekaligus beliau juga merupakan orang tua dari juru kunci saat ini yaitu Pak Abdillah. Makam ini diperkirakan sudah berumur ± 300 tahun.

● Makam Daeng Mangkona

● Makam Istri Beliau


Makam La Mohang Daeng Mangkona dijadikan salah satu Cagar Budaya Nasional bukan lagi Cagar Budaya Daerah karena sudah di resmikan oleh BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya). Mengapa demikian karena makam ini memenuhi beberapa syarat yang pertama makam ini berusia lebih dari 100 tahun, yang kedua makam ini memiliki nilai sejarah, dan yang terakhir adalah benda-benda yang ada di makam tersebut belum berubah dari aslinya.
La Mohang Daeng Mangkona adalah tokoh penting dalam cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Beliau beserta rombongannya dari Wajo memilih meninggalkan Kerajaan Gowa karena sebuah sengketa antara Kerajaan Wajo dan Bone yang menyudutkan Kerajaan Wajo, rakyat dan bangsawan Wajo yang selamat melakukan pengungsian kemana mana. Pelayaran bangsawan Wajo ini ternyata bukan mendarat di tanah Kutai melainkan mereka memasuki daerah Pasir Balengkong dimana tempat itu telah berdiri Kerajaan Sadurangas. Semula mereka hanya hendak mengisi pembekalan dan air. Namun pihak kerajaan Sadurangas mengizinkan mereka menetap di daerah Pasir. Setelah satu bulan mereka menetap di sana, datang lagi rombongan kedua, orang orang Wajo dan Soppeng dengan jumlah banyak serta menyampaikan kekalahahan yang di alami Wajo. Kekalahan itu bukan hanya karena berperang dengan orang orang Bone tetapi rombongan itu meninggalkan kampung halamannya karena kampung mereka telah dikuasai oleh kolonial Belanda karena perjanjian Bongaya pada zaman itu, Beliau tidak ingin tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.
Rombongan tersebut yang dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona. Dalam perundingan, telah diputuskan agar rombongan Daeng Mangkona meneruskan perjalanannya menuju daerah Kutai Kertanegara. Setelah menginjakkan kaki di tanah Kutai bertemulah Daeng Mangkona beserta rombongannya dengan Raja Kutai Kertanegara saat itu dan Daeng mangkona di berilah wilayah yang bernama Samarendah atau yang sekarang kita sebut Kota Samarinda. Beliau di beri kepercayaan oleh Raja Kutai untuk mengawasi daerah Samarendah dari penjajah. Kata Samarendah diambil karena beliau serta rombongannya bermukim di pinggiran sungai dan yang kedua rumah mereka pada saat itu berupa rumah panggung jadi tidak membedakan derajat satu sama yang lain semua sama, namun kelompok mereka yang menentukan bahwa Daeng Mangkona pemimpin mereka.
La Mohang Daeng Mangkona pun diakui Raja Kutai sebagai pemimpin komunitas di sana dengan gelar Poa Adi. Beliau dan rombongannya mulai membangun pemukiman di Samarendah pada Januari 1668, yang kemudian ditetapkannya hari jadi Kota Samarinda pada tanggal 21 Janiari 1667 Masehi. Penetapan hari jadi Kota Samarinda ke 320 pada 21 Januari 1980. Penetapan ini kemudian diperkuat Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor: 1/tahun 1988 tertanggal 21 Januari 1988, pasal 1 yang berbunyi : “Hari jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1688M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 H”.
            Demikianlah artikel yang saya buat, semoga dengan ditulisnya Blog ini kita bisa mengetahui sejarah dari kota yang kita cintai ini. Terima Kasih



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Bahlam, Johansyah. 2009. Riwayat Samarinda dan Cerita Legenda Kaltim. Kalimantan Timur: Biro Humas
Muzakir, Djahar. 2007. Mari Mengenal Samarinda. Samarinda: Pustaka Spirit




Comments

Popular posts from this blog

Nyanyian Rakyat Jawa "Lelo Ledung"

Mengadili Terdakwa Tak Berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia