Nyanyian Rakyat Jawa "Lelo Ledung"

Oleh Ricky Rizaldy

          Pada artikel saya kali ini saya akan menerjemahkan serta mengkaji makna dari Folksong “Lelo Ledung” dari daerah Jawa. Untuk masyarakat Jawa mungkin sudah tidak asing dengan Nyanyian ini karena ketika masih kecil setiap ingin tidur anak-anak akan selalu dinyanyikan lagu ini oleh Ibunya. Berikut adalah upaya saya untuk menerjemahkan serta mengkaji kandungan dari Nyanyian Lelo Ledung.

Lelo Ledung

Tak lelo lelo lelo ledung
Cup menengo ojo pijer nangis
Anakku sing ayu (bagus) rupane
Yen nangis ndang ilang ayune (baguse)
Tak gadang iso urip mulyo
Dadiyo wanitu (priyo) utomo
Ngluhurke asmane wong tuwo
Dadiyo pendhekaring bongso
Wis cup menengo anakku
Kae mbulane ndadari
Koyo buto nggegilani
Arep nggoleki cah nangis
Tak lelo lelo lelo ledung
Cup menengo anakku cah ayu (bagus)
Tak emban slendang batik kawung
Yen nangis mundak Ibu bingung

Terjemahan:

Timang Anakku Sayang

Kutimang timang timang engkau anakku
Diamlah jangan menangis terus
Anakku yang cantik/ganteng rupanya
Kalau menangis nanti hilang cantiknya/gantengnya
Kuharap bisa hidup mulia
Jadilah wanita/pria utama
Meninggikan nama Orang Tua
Jadilah pahlawan bangsa
Sudahlah berenti menangis anakku
Lihatlah Bulan sedang purnama
Seperti raksasa menakutkan
Sedang mencari anak menangis
Kutimang timang timang engkau anakku
Diamlah anakku yang cantik/ganteng
Kugendong dengan slendang batik kawung
Kalau menangis nanti Ibu bingung

          Lelo dalam bahasa Jawa berarti “Menimang” atau “Timang”, Timang berarti memegang anak atau menaruh anak di tangan lalu diayun-ayunkan dan dipuji-puji (KBBI). Sedangkan Ledung dalam bahasa Jawa berarti “Anakku”. Saya juga memasukkan diksi “Sayang” dalam terjemahan saya karena saya rasa feel-nya akan terasa pas ketika kita mendengar diksi sayang pada judul nyanyian ini. Diksi sayang tidak akan merusak feel maupun esensi yang sesungguhnya pada nyanyian tersebut karena diksi sayang saya pikir berkesinambungan dengan lirik nyanyian tersebut. Ungkapan sayang pada judul nyanyian ini tersirat pada lirik-liriknya yang merupakan doa serta harapan yang positif.

          Ada hal yang menarik pada lirik Tak emban slendang batik kawung (Kugendong dengan slendang batik kawung), pada lirik tersebut terdapat kata"Slendang batik kawung" ini menjadi sangat menarik karena ternyata Slendang batik kawung merupakan simbol yang diambil dari sejarah kehidupan masyarakat Jawa dahulu. Slendang batik kawung menyimbolkan harapan supaya manusia terus-menerus ingat darimana asal usulnya. Masa lampau batik kawung dipakai di lingkungan keraton. Petinggi keraton memakai motif batik kawung menggambarkan sosok pemuka yang bisa menahan hawa nafsu juga membentengi hati nurani supaya ada harmoni dalam tindak tanduk kesibukan manusia. Asal usul lahirnya motif batik kawung yaitu saat ada pemuda yang memiliki sosok berwibawa juga dihormati di kalangan kaumnya dengan cepat sebab sikap pemuda yang bijak dan santun sekali, sampai menjadikan namanya terdengar sampai di lingkungan Kerajaan Mataram. Kalangan keraton merasa penasaran dengan kemashuran sang pemuda, sampai diperintahkan pemuda ini untuk berkunjung ke Kerajaan. Mendengar kabar putranya dipanggil oleh Raja, membuat ibunya menjadi terharu dan berharap besar. Sang Ibu memberi nasihat supaya anaknya itu bisa menjaga hawa nafsu juga tidak lupa dari mana dia berasal. Karena itulah sang ibu membikin motif batik kawung, dengan harapan sang anak bisa menjadi seorang yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Tak lama setelah dipanggil kalangan keraton dan diberikan sejumlah kesibukan yang selalu bisa ditepati, karenanya pemuda ini dilantik menjadi Adipati Wonobodro. Dalam pelantikan menjabat Adipati Wonobodro, sang pemuda memakai batik pemberian ibundanya dengan motif batik kawung. Motif barik kawung bercorak lingkaran menyerupai buah kawung yang ditata rapi secara geometris. Motif ini juga diterjemahkan sebagai gambar bunga teratai bersama empat lembar daun bunga yang merekah. Bunga teratai melambangkan umur panjang dan kesucian.

          Nyanyian Lelo Ledung ini merupakan salah satu nyanyian masyarakat Jawa. Nyanyian Lelo Ledung ini biasanya dinyanyikan oleh seorang Ibu kepada anaknya yang sedang merengek atau menangis agar bisa segera tenang. Selain itu, Nyanyian Lelo Ledung juga dinyanyikan saat menidurkan anak agar lebih cepat tidur.

          Seperti yang kita ketahui, Nyanyian Lelo Ledung ini merupakan Folksong pengantar tidur, sama halnya dengan lagu Nina Bobo. Meskipun, lagu Lelo Ledung dan Nona Bobo konteksnya sama yaitu sebagai nyanyian pengantar tidur tetapi ketika kita telusuri lebih dalam maka akan terlihat perbedaan yang sangat jauh.

          Perbedaan yang paling jelas ialah pada isi dan makna kedua nyanyian tersebut. Nyanyian Lelo Ledung lebih sarat akan makna dibandingkan Lagu Nina Bobo karena dari lirik saja sudah terlihat jelas. Doa-doa, pujian, serta harapan seorang Ibu yang menyayangi anaknya semua tertuang dalam nyanyian ini sehingga ketika nyanyian ini di nyanyikan tidak hanya sebatas sebuah nyanyian pengantar tidur melainkan sebuah doa dan harapan kepada anak.

          Esensi pada nyanyian Lelo Ledung ini juga diperkuat dengan dikutipnya nyanyian ini oleh Puthut Buchori pada karya sastra (Naskah Drama) -nya yang berjudul “Liang”. Didalam Naskah karya pria kelahiran Jogja ini, beliau mengutip Nyanyian Lelo Ledung di dalam dialog salah satu tokoh yang bernama “Wasti” yang merupakan seorang ibu yang tidak bersuami, Tokoh “Wasti” diceritakan sebagai seorang wanita desa yang merantau ke kota besar, dan karena himpitan ekonomi ia pun dengan terpaksa bekerja sebagai pelacur di kota besar sehingga ketika ia pulang ke desanya ia membawa seorang anak. Pada salah satu adegan pada naskah ini, anaknya menangis ia pun menggendong anaknya dan menyanyikan nyanyian “Lelo Ledung” sambil tersedu dengan harapan agar anaknya tidak mengulangi kesalahan Ibunya ketika sudah besar nanti.

          Nyanyian Lelo Ledung merupakan warisan yang di turunkan secara turun temurun oleh orang-orang terdahulu dan dipegang erat hingga sekarang oleh masyarakat Jawa. Kapan dan siapa yang pertama kali menciptakan nyanyian ini masih tidak diketahui hingga sekarang. Namun, pada tahun 1960s lagu ini dipopulerkan oleh beberapa penyanyi Keroncong – Jawa ternama seperti, Waldjinah, Enny Kusrini, dan Didi Kempot.

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Kota Samarinda

Mengadili Terdakwa Tak Berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia